Pages

Thursday, 11 November 2010

Membaca Sosok Pemimpin Bersahaja

Sabtu, 30 Oktober 2010 13:50
Jika India memiliki Mahatma Gandhi sebagai bapak negarawan yang sederhana, santun, bersahaja bagi rakyatnya, maka Indonesia memiliki Bung Hatta. Sepanjang hidupnya, Bung Hatta berperilaku senantiasa menampilkan sikap yang santun terhadap siapa pun. Baik kawan maupun lawan. Terhadap Bung Karno yang pada masa sebelum kemerdekaan melakukan kerja sama cukup erat namun kemudian mereka tidak dapat bekerja sama secara politik, tetapi sebagai sesama manusia, Bung Hatta masih menghormatinya. Ketika Bung Karno sakit, Bung Hatta menengoknya. Demikian pula sebaliknya. Kesantunan menjadi sikap dalam hidupnya untuk saling menghargai.
Saat peringatan kemerdekaan Republik Indonesia tiba, nama  tokoh kelahiran 1902 ini ramai dibicarakan. Para wartawan sibuk mewancarai anak cucu keturuannya untuk menanyakan kesan-pesan terhadap sang Proklamator. Sebab jika kita memperbincangkan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak akan pernah lepas dari pembahasan tokoh yang satu ini. Perannya dalam prokalamasi kemerdekaan sangat besar.
Keberanian dan keteguhannya mengantarkan dirinya menjadi salah satu tokoh kunci pergerakan bangsa. Keberaniannya nampak ketika ia menandatangani naskah proklamasi, naskah sakti bukti pernyataan kebebasan Indonesia atas kolonialisme bersama Soekarno yang akhirnya  dijuluki Dwituggal. Mereka berdua penanggung jawab peralihan kekuasaan dari pemerintahan kolonialisme kepada negara merdeka yang berkesatuan.
Banyak  kisah tentang Hatta yang menyadarkan kita semua, bahwa Indonesia pernah memiliki seorang pemimpin dan negarawan yang teramat bersahaja. Hal itu terlihat saat Bung Hatta mulai tidak sepaham dengan Bung Karno antara lain menganggap Bung Karno sudah ke-kiri-kirian, terlebih saat Bung Karno mencetuskan ide Nasakom, Bung Hatta yang sudah tidak sepaham lagi dengan Bung Karno memilih mengundurkan diri 1 Desember 1956.
Banyak teladan yang perlu dicontoh dari Bung Hatta. Dia adalah sosok yang jujur karena tidak pernah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme selama menjadi pejabat negara. Di juga jujur terhadap hati nuraninya. Pada saat yang sama, dia adalah pribadi yang sederhana dan apa adanya.
Paahlawan bangsa ini tidak pernah tergoda dengan kekuasaan. Setelah mengundurkan diri dari pemerintahan, dia menjadi warga negara biasa. Beberapa perusahaan menawarinya untuk menjadi komisaris, tetapi dia menolak. Alasannya dia malu dinilai hanya mencari pangkat dan jabatan. Dia juga tidak mau dinilai rakyat seperti orang yang mementingkan diri sendiri dengan tidak mau memperhatikan perkembangan negeri ini.
Sikap jujur dan kesederhanaannya juga ditunjukkan dengan menolak kenaikan uang pensiun. Bahkan dia menolak diberi rumah tambahan yang lebih besar karena takut tidak mampu membiayai ongkos perawatan rumah tersebut. Prinsipnya yang kokoh itu kian tampak ketika Bank Dunia menawarkan kedudukan pada Hatta, tetapi dia tak mau menerimanya. Penolakan itu sempat mengecewakan anak-anaknya. Halida anak bungsunya mengatakan bahwa ia ingin kuliah ke luar negeri. Namun keinginannya itu tertunda lantaran penolakan Hatta atas posisi yang ditawarkan Bang Dunia tersebut.
Peristiwa menakjubkan terjadi pada 1970. Ketika itu Bung Hatta diundang berkunjung ke Irian Jaya (Papua), untuk sekaligus meninjau tempat dia pernah dibuang pada masa penjajahan Belanda. Di sana dia disodori amplop sebagai uang saku, tetapi dia menolaknya. Ketika amplop itu disodorkan kepadanya, spontan dia berkata, “surat apa ini?”. Dijawab oleh Sumarno yang mengatur kunjungan Hatta, “bukan surat Bung, uang saku buat perjalanan Bung Hatta di sini. Bung Hatta menjawab, bukankah uang ongkos sudah ditanggung pemerintah. Sumarno terus meyakinkan Hatta agar menerima uang itu, tapi tetap ditolaknya dengan alasan bahwa uang itu adalah uang rakyat. (hal. 107)
Hatta juga merupakan politisi santun dalam mengutarakan pendapatnya. Setelah tidak menjabat wakil presiden dia tampil sebagai oposisi yang rajin menyampaikan kritik kontruktif terhadap pemerintahan Soekarno. Dia tidak mau mengerahkan massa, memprovokasi, memberontak, dan sebagainya. Karena dia bukanlah tipe agitator dan haus kekuasaan. Dia rajin mengkampanyekan pentingnya mendidik rakyat secara rasional.
Pada intinya, buku ini memberikan suguhan sosok teladan kepada para pemimpin untuk tidak melakukan praktik politik kotor, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sehingga buku ini sangat cocok dibaca oleh para pemimpin khususnya dan masyarakat pada umumnya, supaya bisa mengambil pelajaran bagaimna sikap kesantunan dan kejujuran Bung Hatta dalam berpolitik dan memimpin.

*Peresensi adalah penulis Buku dan Peneliti di Pusat Studi Islam UMM

No comments:

Post a Comment